Dasar Pemikiran


Pusat Komuniti Islam Yayasan Al-Insaniyah (PUSKIYAI) Aceh adalah sebuah lembaga yang bergerak dibidang pendidikan, dakwah, sosial dan budaya. Di bidang pendidikan salah satunya adalah pendidikan dayah/pesantren yaitu Dayah Manyang, yang berada dibawah naunggannya, dan juga bergerak dibidang pariwisata Islami, karena potensi panorama yang ada sangat mendukung karena Puskiyai dikelilingi oleh pengunungaan-pegunungan, laut dan sungai krueng baru.

Secara legal-formal Pusat Komuniti Islam Yayasan Al-Insaniyah (PUSKIYAI) Aceh berdiri dengan Akta Notaris No. 100 Tanggal 16 Juni 2005 tentang pendirian Yayasan Al-Insaniyah. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Yayasan Al-Insaniyah merupakan badan hukum pengelola Pusat Komuniti Islam Yayasan Al-Insaniyah (PUSKIYAI) yang didalamnya mengelola lembaga pendidikan Dayah Manyang.

Puskiyai didirikan pada hari Ahad tanggal 05 Jumadil Awal 1426 H bertepatan dengan tanggal 12 Juni 2005 M. Inisiator pendiriannya adalah Al-Mukarram Tgk. H. Farmadi, ZA., M.Sc. (Abu Dayah Manyang). Beliau merupakan alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan sekaligus Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah. Inisiasi pendirian Puskiyai atas dasar ikut berpartisipasi aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam hal ini mencerdaskan spiritual masyarakat dan generasi muda bangsa. Sehingga keberadaan Dayah Manyang Puskiyai Aceh ditengah-tengah masyarakat memiliki makna yang signifikan tidak hanya sebatas sumber pengetahuan agama bagi penuntun moral masyarakat disekitarnya, akan tetapi lebih dari itu juga memiliki posisi kontrol terhadap tatanan sosial yang ada di masyarakat. Namun perjalanan panjang sejarah Dayah sebagai institusi pendidikan Islam semakin mengalami keterpinggiran. Keberlanjutan kehidupan pendidikan di Dayah selama ini sangat tergantung dari tingkat partisipasi keswadayaan masyarakat di lingkungannya. Transformasi sosial modern dan kecenderungan kehidupan yang semakin matrialistis, semakin mengendorkan semangat keswadayaan masyarakat dalam mendukung keberlanjutan pendidikan di Dayah. Kondisi ini semakin diperparah dengan terjadinya konflik bersenjata dan bencana tsunami yang melanda Aceh.

Sejak awal didirikan, Puskiyai telah aktif membina santri dan warga-warga  jompo (warga emas). Puskiyai mengusahakan bantuan dari berbagai pihak untuk pengadaan santunan bagi keluarga yang tidak mampu serta anak-anak usia sekolah. Dan sejauh ini santri dan santriwati yang di tampung dan dibina di Dayah Manyang Puskiyai Aceh adalah  anak-anak korban tsunami, yatim piatu dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu atau fakir miskin serta anak-anak lain yang ingin menimba pendidikan agama Islam.

Untuk keberlanjutan program tersebut Yayasan Al-Insaniyah terus berupaya membangun kemandirin untuk menunjang kemandiriannya terutama untuk kemadirian Dayah Manyang Puskiyai Aceh. Beberapa upaya yang telah dilakukan Yayasan Al-Insaniyah adalah membangun pabrik air mineral dan membangun pariwisata Islami di lingkungan Puskiyai, karena potensi yang ada di sekelilingnya yang dikelilingi oleh  pegunungan, laut dan sungai krueng baru sangat mendukung untuk membangun pariwisata Islami untuk memberdayakan Dayah Mandiri sekaligus ikut mensukseskan program Pemerintah Aceh untuk membangun Wisata Islami di Aceh.

Sebagaimana Dayah atau pesantren lain pada umumnya, inti aktivitas di Dayah Manyang Puskiyai Aceh adalah di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Namun sebagai sebuah dayah atau pesantren, maka Dayah Manyang terdapat beberapa keunikan atau kekhasan dibandingkan dayah lain pada umumnya. Salah satu diantaranya adalah tingginya intensitas aktivitas (usaha) ekonomi di dalam lingkungan Dayah Manyang Puskiyai Aceh. Tingginya intensitas aktivitas (usaha) ekonomi tersebut dapat dirasakan baik sejak awal masa pendirian maupun hingga saat ini.

Setidaknya ada 2 faktor atau kondisi yang dapat digunakan untuk menjelaskan keunikan di atas, yaitu semangat wirausaha dan prinsip kemandirian. Prinsip itulah yang kemudian menjelma menjadi yang mewarnai corak Dayah Manyang Puskiyai. Di sisi lain, dapat kita pahami pula bahwa semangat kemandirian adalah sebuah cita-cita dan idealisme para pendiri Puskiyai yang di dalamnya mengelo Lembaga Pendidikan Dayah Manyang agar tumbuh kembang Puskiyai dan keseluruhan aktivitasnya didasarkan kepada kemampuan diri, bukan atas ketergantungan kepada bantuan atau sokongan dari pihak lain. Sehingga diharapkan akan muncul independensi dan keleluasan dalam berkreasi. Tentu pada idealisme tersebut tidak dinafikan adanya peluang kemitraan dan kerjasama dengan sebanyak-banyaknya pihak. Dalam hal ini maka semangat wirausaha dan semangat kemandirian adalah sebuah paket yang saling menunjang satu sama lain. Kemandirian dapat terwujud karena adaya aktivitas wirausaha.

Pada giliran selajutnya aktivitas (usaha) ekonomi ini kemudian dapat pula dipandang sebagai bagian dari atau bahkan nilai tambah bagi garapan Puskiyai di bidang pendidikan, dakwah dan sosial yang terelaborasi pada sebuah konsep tata nilai yang yaitu: Makrifatullah, Manajemen Diri, Entrepreneurship, dan Leadership. Tata nilai inilah yang kemudian menjadi dasar dan filosofi bagi Puskiyai dengan rumusan statement "Generasi Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar".

Berangkat dari dasar pemikiran di atas, maka kelembagaan Puskiyai secara evolutif terus mengalami perubahan dan penataan. Hal tersebut ditandai dengan pendirian penyulingan air mineral yang bersumber dari pegunungan sabil yaitu Bustan Air Mineral. Seiring dnegan perjalannya Bustan Air Mineral terus berupaya meningkatkan produksinya dengan memproduksi Air Minum dalam Kemasan (AMDK) Bustan Air Mineral, Bustan Syifaa, dan Ie Manyang. Pendirian badan usaha tersebut menjadikan aktivitas usaha/ekonomi menjadi lebih tertata.

Sekalipun secara legal formal -sesuai acuan hukum positif yang berlaku- Dayah Manyang dan Badan Usaha Air Mineral Bustan merupakan organisasi yang terpisah, namun antar organisasi tersebut satu sama lain memiliki ikatan/kaitan yang sama, yaitu berada di bawah naungan Pusat Komuniti Islam yayasan Al-Insaniyah (PUSKIYAI). Sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun secara legal-formal terpisah, namun secara kultural dapat dikatakan bahwa lembaga tersebut adalah bagian dari civitas.